(Analisis terhadap efektifitas Perda No.5 Tahun 2021 Provinsi NTB
Tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Sumbawa)
Disusun Oleh : AHMAD ARIFIN, Lc.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Manajemen Inovasi
Universitas Teknologi Sumbawa
PENDAHULAN
Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang.Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur.
Pernikahan dini merupakan pernikahan dibawah umur yang banyak mengeksploitasi anak-anak. Masa anak-anak seharusnya menjadi masa yang menjadi tempat dimana kebahagiaan dan kasih sayang orang tua banyak didapatkan, ketika pernikahan dini dilakukan, masa-masa indah tersebut tidak dapat dinikmati oleh seorang anak. Peran orang tua dan keluarga juga harus bertanggung jawab atas perkembangan anak-anak mereka, hal tersebut diwujudkan dengan menjaga dan memelihara hak asasi yang dimiliki oleh anak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pembatasan usia perkawinan dalam Undang-undang memiliki tujuan agar calon mempelai mampu memiliki kesiapan secara mental dan psikologis dalam membentuk rumah tangga kelak. Banyak kasus yang terjadi dalam pernikahan dini yaitu para pengantin yang menikah yang hanya didasarkan pada kondisi fisik belum tentu memiliki pemikiran yang dewasa jika dinilai masih dibawah umur. Apabila si anak masih dibawah umur, harus ada tindakan pembatalan atau pencegahan pernikahan. Sebab, sudah menyalahi undang-undang yang berlaku mengenai perkawinan dan perlindungan anak.
Undang-Undang Negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Majelis Ulama’ Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyah al-ada’ dan ahliyyah al-wujub). Ahliyyah al-Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya baik perbuatan yang bersifat positif maupun negatif. Ahliyyah al-Wujub adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Begitu pula di dalam Undang- Undang No.35 Tahun 2014 ratifikasi dari Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di sebutkan dalam pasal 26 ayat (1) huruf c bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Sebab, pernikahan usia anak adalah bentuk tindak kekerasan terhadap anak yang akan memberikan dampak negatif bagi anak itu sendiri dan generasi selanjutnya serta dapat menyebabkan kemiskinan.
Saat ini di Indonesia tingkat perkawinan dibawah umur masih terbilang sangat tinggi, tidak hanya di daerah perkampungan saja, akan tetapi di daerah perkotaan pun masih banyak yang memutuskan untuk menikah di usia yang masih muda.Dibeberapa daerah, masyarakat menganggap bahwa perkawinan di bawah umur itu suatu hal yang biasa. Padahal, ikatan perkawinan sejatinya tidak hanya dijadikan sebagai suatu sarana yang menghalalkan hubungan biologis antarlawan jenis, tetapi juga merupakan upaya syariat dalam mewujudkan institusi keluarga yang bahagia, sejahtera, berkualitas baik secara jasmani maupun rohani berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dengan adanya perkawinan diharapkan dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Perkawinan usia dini semakin marak terjadi di kalangan masyarakat NTB, baik di Pulau Lombok maupun di Pulau Sumbawa, sehingga hal ini menjadi keperihatinan kita bersama. Berangkat dari keprihatinan inilah kemudian semua kalangan terus berupaya dan bersinergi untuk mengatasi dan meminimalisir peningkatan kasus perkawinan bawah umur. Salah satu contoh kasus perkawinan dibawah umur yang terjadi pada bulan September 2020 yang lalu, dialami oleh dua anak remaja usia SMP di Lombok Tengah, pengantin pria bernama Suhaimi berusia 16 tahun asal Dusun Montong Indah Desa Pengenjek Kecamatan Jonggat Lombok Tengah, sedangkan pengantin wanita bernama Nur Herawati yang saat itu berusia 14 tahun.
Perkawinan Suhaimi dan Nur Herawati membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional.Sebelumnya pada bulan Agustus 2020 akibat kegiatan belajar secara online, di Lombok Timur sekitar 15 siswa memilih melakukan perkawinan di bawah umur dengan alasan jenuh akibat lamanya belajar di rumah. Pihak sekolah telah melakukan sosialisasi dan melakukan pencegahan perkawinan di bawah umur di kalangan pelajar, akan tetapi para pelajar tersebut tetap melakukan perkawinan di bawah umur.
Data pernikahan bawah umur di Provinsi NTB sendiri masih terbilang cukup tinggi, Berdasarkan Data Perkawinan Usia Anak Dinas P3AP2KB Provinsi NTB (April 2022) menyebutkan, bahwa dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sejak Januari 2019 s.d April 2022 terdapat sedikitnya 2.530 kasus perkawinan anak usia dini yang terjadi di berbagai daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Salah satu terobosan sebagai upaya mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTB bersama DPRD NTB adalah dengan membuat regulasi berupa Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTB pasa 29 januari 2021 lalu. Maka dari itu, penulisakan membahas mengenai Faktor Penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur, strategi Pemerintah Daerah dalam mencegah dan meminimalisir perkawinan dibawah umur. Penulis juga menganalisa sejauh mana efektifitas Perda tersebut dalam upaya menahan laju perkawinan di bawah umur khususnya di Kabupaten Sumbawa dan menjelaskan peran strategis KUA Kecamatan dalam mensosialisasikan Perda No. 5 Tahun 2021 dan memantau perkembangan trend kasus di tingkat Desa.
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui Faktor Penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur
2) Untuk mengetahui Strategi Pemerintah Daerah dalam mencegah dan meminimalisir perkawinan dibawah umur
3) Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas Perda No. 5 Tahun 2021 dalam upaya menahan laju perkawinan di bawah umur khususnya di Kabupaten Sumbawa
4) Untuk mengetahui Peran strategis KUA Kecamatan dalam mensosialisasikan Perda No. 5 Tahun 2021 dan memantau perkembangan trend kasus di tingkat Desa dan Kelurahan.
A. Faktor Penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur
Menurut pengalaman penulis selaku Kepala KUA Kecamatan Lenangguar Kabupaten Sumbawa, bahwa tingginya angka perkawinan dibawah umur diwilayah Nusa Tenggara Barat khususnya Kab. Sumbawa, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Pergaulan Bebas dan Hamil Sebelum Menikah.
Dalam banyak kasus, pernikahan anak usia dini dimohonkan dispensasinya oleh orang tua karena anak terlanjur hamil tanpa ikatan pernikahan yang sah sebelumnya. Kasus permohonan dispensasi terbanyak tahun 2021 terjadi di Lombok Tengah sebanyak 307 permohonan, disusul oleh Kabupaten Bima dan Kota Bima 249 permohonan, Kabupaten Sumbawa 163 permohonan, Kabupaten Dompu 146 permohonan, Kabupaten Lombok Timur 140 permohonan, Kabupaten Lombok Barat dan KLU 88 permohonan, KSB 27 permohonan dan terakhir Kota Mataram sebanyak 12 permohonan.
2) Kemiskinan dan Masalah Ekonomi.
Masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah, sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
3) Sosial budaya atau adat istiadat.
Adanya tradisi yang diyakini masyarakat tertentu semakin menambah persentase pernikahan dini di Indonesia, misalnya seorang remaja laki-laki yang pulang malam bersama dengan perempuan yang masih gadis, maka akan dinikahkan, walaupun mereka berdua masih dibawah usia 18 tahun, seperti yang terjadi di Pulau Lombok. Disamping itu, Perkawinan usia muda kerap terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
4) Kurangnya pengetahuan Orang Tua dan Anak
Tingginya kasus perkawinan dibawah umur dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan Orang Tua dan Anak tentang resiko kesehatan yang terjadi akibat perkawinan usia muda, seperti tingginya angka kematian ibu sehabis melahirkan, bayi prematur, tingginya angka stunting dan resiko terkena HIV/AIDS. Ketidaktahuan akan resiko inilah yang menyebabkan praktik perkawinan anak masih terus terjadi, sehingga seringkali remaja terperangkap pada kehamilan yang tidak diinginkan dan terpaksa diakhiri dengan pernikahan.
B. Strategi Pemerintah Daerah dalam mencegah dan meminimalisir perkawinan dibawah umur
Adapun strategi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam mencegah dan meminimalisir perkawinan anak dibawah umur dilaksanakan melalui 2 cara :
1. Pencegahan perkawinan anak melalui Pengadilan.
Untuk strategi yang pertama, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat mendorong agar ;
1) Pengadilan Agama memperketat persyaratan penerbitan Dispensasi Nikah bagi anak dibawah umur dengan terlebih dahulu melengkapi bukti-bukti pendukung, diantaranya surat keterangan hamil bagi calon mempelai wanita dari Dinas Kesehatan atau Puskesmas.
2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bekerjasama dengan Pengadilan Agama dalam rangka menerbitkan dispensasi nikah. Kabupaten Lombok Tengah misalnya telah mengadakan MOU dengan Pengadilan Agama setempat, Dimana Pengadilan Agama Kabupaten Lombok Tengah hanya akan menerbitkan Dispensasi Nikah bila telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas P3AP2KB Kabupaten.
2. Upaya pencegahan perkawinan anak di Masyarakat.
Adapun untuk strategi yang kedua, yaitu upaya pencegahan perkawinan anak di masyarakat sebagaimana dimaksud pada Perda No.5 Tahun 2021 ayat (1) huruf b dilakukan meliputi:
1) Optimalisasi kapasitas sumberdaya anak, melalui strategi sebagai berikut : a. peningkatan kesadaran dan sikap anak terkait hak kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif; b. peningkatan pengetahuan anak dampak perkawinan anak; c. peningkatan keterampilan menyampaikan dampak perkawinan anak; d. peningkatan partisipasi anak dalam pencegahan perkawinan anak; dan e. peningkatan ruang dan komunitas yang mendukung anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dalam lingkungan formal maupun informal seiring dengan perkembangan informasi, teknologi, dan situasi anak.
2) Penciptaan lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b difokuskan pada: a. perubahan nilai, norma, dan cara pandang terhadap perkawinan anak; b. penguatan peran orang tua, sekolah, keluarga, dan komunitas dalam perlindungan anak dan pendewasaan usia perkawinan dengan mendorong terbentuknya Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat; dan c. revitalisasi budaya yang berisiko mendorong terjadinya perkawinan anak.
3) Peningkatan aksesibilitas dan perluasan layanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dilakukan melalui strategi yang difokuskan pada: a. penyediaan akses dan layanan yang ramah anak dan remaja, responsif gender dan inklusif sebelum terjadi perkawinan anak; dan b. penyediaan akses dan layanan yang ramah anak dan remaja, responsif gender dan inklusif setelah terjadi perkawinan anak.
4) Penguatan regulasi dan kelembagaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d dilakukan melalui strategi yang difokuskan pada: a. penguatan kapasitas kelembagaan perlindungan dan pemberdayaan anak dan satuan pendidikan; b. mendorong pembentukan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di kabupaten/kota tentang pencegahan perkawinan anak; c. melakukan evaluasi terhadap peraturan desa, peraturan sekolah dan/atau awiq-awiq yang mendorong terjadinya perkawinan anak; dan d. penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang pencegahan perkawinan anak.
5) Penguatan koordinasi pemangku kepentingan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e dilakukan melalui strategi yang difokuskan pada: a. Peningkatan kerja sama lintas sektor, bidang, dan daerah; b. Penguatan sistem data dan informasi; dan c. Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.
Hal lain yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pencegahan perkawinan anak, menugaskan perangkat daerah yang membidangi urusan pemberdayaan, perlindungan anak dan pengendalian penduduk melaksanakan peran dan tanggung jawab:
a. bersama perangkat daerah yang membidangi pendidikan dan kesehatan menyiapkan materi pendidikan kesehatan reproduksi anak;
b. meningkatkan pemahaman pendewasaan usia perkawinan;
c. mengembangkan dan mengoptimalkan peran forum anak sebagai konselor sebaya dalam meningkatkan pemahaman anak tentang perkawinan;
d. mendayagunakan PATBM atau dengan nama lain sebagai gerakan pencegahan perkawinan anak di tingkat masyarakat;
e. mendayagunakan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) sebagai upaya peningkatan kapasitas keluarga;
f. mensinergikan kegiatan yang dilaksanakan Perangkat Daerah lain dan kabupaten/kota terkait Pencegahan Perkawinan Anak melalui Forum Koordinasi Program Perlindungan anak, dan Forum Koordinasi Data dan Informasi Perlindungan anak;
g. memberikan layanan bagi anak yang mengalami permasalahan perkawinan anak; dan
h. membangun sistem data dan informasi pencegahan perkawinan anak yang terintegrasi dalam sistem data dan informasi perlindungan anak.
Efektifitas Perda No. 5 Tahun 2021 dalam upaya menahan laju perkawinan di bawah umur di Kabupaten Sumbawa
Peran strategis KUA Kecamatan dalam mensosialisasikan Perda No. 5 Tahun 2021 dan memantau perkembangan trend kasus di tingkat Desa dan Kelurahan.
Salah satu upaya untuk menekan angka perkawinan di bawah umur adalah dengan memaksimalkan peran KUA yaitu melalui pengecekan segala persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pengantin untuk melangsungkan perkawinan sekaligus mensosialisasikan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dan PERDA No.5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak, serta memberikan bimbingan dan penasehatan tentang perkawinan untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan serta menjelaskan dampak buruk dari perkawinan anak dibawah umur.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 3 disebutkan bahwa sembilan tugas dan fungsi KUA adalah: (1) Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk. (2) Penyusunan statistik dan bimbingan masyarakat Islam, (3) Pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi manajemen KUA Kecamatan, (4) Pelayanan bimbingan keluarga sakinah, (5) pelayanan bimbingan kemasjidan, (6) Pelayanan bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syariah. (7) Pelayanan bimbingan dan penerangan agama Islam, (8) Pelayanan bimbingan zakat dan wakafdan (9) pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan. Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KUA Kecamatan dapat melaksanakan fungsi layanan bimbingan manasik haji bagi Jemaah Haji Reguler.
Melaksanakan pembinaan syariat, antara lain dengan memberikan pembinaan terkait perkawinan salah satunya dengan mensosialisasikan peraturan mengenai batasan usia perkawinan, sehingga diharapkan dapat menekan angka perkawinan dibawah umur.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisa diatas, ditemukan bahwa faktor utama penyebab tingginya angka perkawinan dibawah umur adalah maraknya pergaulan bebas remaja dan terjadinya kehamilan diluar nikah.
Strategi yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTB untuk menurunkan kasus perkawinan anak adalah dengan memberlakukan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak. Hal tersebut dianggap cukup berhasil dan efektif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya di lapangan memerlukan pengawasan secara konsiten dan berkesinambungan.
Di samping itu, diperlukan sinergitas yang baik antara Pemerintah Daerah dan seluruh perangkatnya dengan KUA Kecamatan sebagai leading sektor yang membidangi pencatatan, pengawasan dan pelaksanaan pernikahan di Desa/Kelurahan.
B. Saran
Penulis memandang perlunya pemerintah Provinsi NTB untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Mensosialisasikan Perda No.5 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak pada seluruh perangkat Desa dan jajarannya serta institusi pendidikan dan sektor terkait lainnya.
2. Bekerjasama dengan pemerintah Daerah di Kabupaten/Kota untuk memastikan pelaksanaan Perda tersebut melalui proses monitoring dan evaluasi secara berkala.
3. Menginstruksikan kepada Pemda Kabupaten/Kota untuk mengadakan MOU dengan Pengadilan Agama setempat terkait penerbitan dispensasi nikah.
4. Melakukan proses edukasi kepada masyarakat, melalui penyuluhan-penyuluhan dengan melibatkan stackholder yang terkait (tokoh adat, tokoh agama, dan civitas kampus) akan pentingnya upaya menekan pernikahan usia dini.
5. Bekerjasama dengan aparat keamanan dalam memberlakukan sangsi bagi pelaku pernikahan usia dini.
6. Mendorong Pemda Kabupaten/Kota untuk menggagas terbentuknya LPAD dan KPAD serta Forum Anak di setiap Desa sebagai wadah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
7. Menginstruksikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar secara aktif mendorong Kepala Desa dan perangkatnya untuk melakukan pendataan terhadap kasus pernikahan dini di Desanya masing-masing.
COMMENTS